Indosat dan Tri Diduga Salahgunakan Wewenang untuk Aktivasi HP Ilegal

Surat Kabar – Indonesia kembali diguncang isu besar di dunia telekomunikasi. Dua operator raksasa, Indosat (PT Indosat Tbk) dan Tri (PT Hutchison 3 Indonesia), diduga terlibat dalam praktik ilegal yang berpotensi mencoreng wajah industri telekomunikasi nasional. Dugaan tersebut mengarah pada praktik aktivasi International Mobile Equipment Identity (IMEI) ponsel ilegal dengan menggunakan data pribadi milik turis asing. Isu ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan menyangkut kejahatan sistematis yang berimplikasi pada hukum, ekonomi, hingga etika bisnis perusahaan.

Regulasi IMEI sendiri sebenarnya lahir untuk menekan peredaran ponsel black market di Indonesia. Sejak 2020, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Bea dan Cukai, menerapkan aturan bahwa setiap perangkat telepon genggam yang digunakan di Indonesia harus memiliki IMEI yang sah dan terdaftar di basis data resmi. Aturan ini juga berlaku bagi wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia. Mereka tetap diperbolehkan menggunakan perangkat pribadi, dengan catatan melakukan registrasi IMEI sementara yang berlaku maksimal 90 hari. Celah inilah yang kemudian diduga disalahgunakan oleh oknum yang bekerja sama dengan operator besar.

Modus yang dijalankan sebenarnya sederhana, tetapi dampaknya luar biasa besar. Turis asing yang datang ke Indonesia kerap diarahkan untuk membeli kartu SIM turis, biasanya di bandara atau counter resmi operator. Dalam proses itu, data pribadi mereka—mulai dari foto paspor, nomor SIM card, hingga tangkapan layar barcode IMEI—dikumpulkan. Bukannya dipakai sesuai prosedur resmi, data tersebut justru digunakan oleh oknum untuk mengaktifkan ponsel ilegal yang masuk ke Indonesia melalui jalur penyelundupan. Ponsel-ponsel itu, sebagian besar iPhone berbagai seri, dijual secara bebas dengan harga lebih murah karena bebas pajak, lalu diaktifkan agar bisa berfungsi normal di jaringan telekomunikasi Indonesia.

Lebih mengejutkan, proses aktivasi ini bisa dilakukan dalam skala besar. Sumber menyebut, dari server di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bali, Pekanbaru, dan Bandung, ratusan hingga ribuan unit ponsel bisa diaktifkan hanya dalam hitungan jam. Di Batam, salah satu pintu masuk utama wisatawan mancanegara, praktik ini berlangsung masif. Bahkan, ada pengakuan dari pelaku di lapangan bahwa mereka bisa memproses 500 unit hanya dalam waktu dua jam. Fakta ini menunjukkan bahwa praktik ilegal tersebut bukan kegiatan kecil, melainkan sebuah sistem yang telah berjalan terstruktur.

Dugaan keterlibatan Indosat dan Tri tidak hanya berhenti pada masalah penyalahgunaan data turis. Ada indikasi kuat bahwa praktik ini juga dijalankan demi mendorong peningkatan angka penjualan. Setiap perangkat yang berhasil diaktifkan akan membutuhkan kartu SIM dan layanan data. Dengan demikian, semakin banyak ponsel yang terhubung ke jaringan, semakin banyak pula pelanggan baru yang secara otomatis tercatat dalam sistem operator. Efeknya jelas: penjualan kartu perdana meningkat, konsumsi paket data melonjak, dan laporan kinerja perusahaan terlihat positif. Bagi investor dan pasar modal, angka-angka pertumbuhan ini bisa memberi sinyal sehat, padahal sebagian ditopang oleh praktik ilegal.

Selain dari pada itu, penjualan yang biasanya dilakukan oleh konter resmi yang bekerjasama dengan operato ternyata juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berafiliasi atau tidak terdaftar resmi sebagai mitra operator tersebut. Pertanyaan besar yang muncul dari mitra resmi adalah ”mengapa masyarakat biasa bisa memiliki akses mitra resmi seperti aplikasi myRetail?” hal ini menjadi pertanyaan besar karena memiliki risiko atas penyalahgunaan data yang tidak seharusnya diberikan kepada masyarakat atau pemilik toko gawai.

Dari sisi keuntungan, skala yang dihasilkan terbilang fantastis. Harga aktivasi ilegal dipatok di kisaran Rp100 ribu hingga Rp120 ribu per perangkat, jauh lebih murah dibanding harga sebelumnya yang mencapai Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Dari banyaknya iklan Aktivasi IMEI yang beredar pada media sosial seperti facebook dan tiktok, diperkirakan 1.200 unit ponsel yang dapat diaktifkan setiap hari. Jika dikalikan dengan tarif rata-rata, nilai transaksi bisa menembus Rp4,32 miliar per hari. Di Batam, dengan kunjungan wisatawan mancanegara yang mencapai 1,3 juta orang sepanjang 2024, potensi perolehan diperkirakan mencapai Rp159 miliar dalam setahun. Bila dihitung secara nasional, potensi keuntungan sindikat ini bisa mencapai triliunan rupiah, sementara negara harus menanggung kerugian dari sisi pajak dan pendapatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) hingga Rp3 triliun, bila satu juta unit ponsel ilegal benar-benar beredar.

Praktik ini jelas menyalahi aturan. Dari perspektif hukum, setidaknya terdapat beberapa lapisan pelanggaran. Pertama, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), karena data paspor turis digunakan tanpa persetujuan yang sah. Kedua, Undang-Undang Telekomunikasi, karena operator diduga membiarkan sistem mereka dipakai untuk kepentingan ilegal. Ketiga, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), mengingat manipulasi database negara adalah tindak pidana. Keempat, hukum perpajakan dan kepabeanan, karena masuknya ponsel tanpa bea jelas merugikan pendapatan negara.

Kerugian terbesar sebenarnya dialami oleh konsumen. Turis asing tidak tahu bahwa data pribadi mereka telah digunakan tanpa izin. Mereka berpotensi menjadi korban penyalahgunaan identitas. Di sisi lain, konsumen lokal yang membeli ponsel dengan IMEI ilegal juga terancam dirugikan. Ponsel yang mereka gunakan bisa sewaktu-waktu diblokir jaringan, sehingga tidak bisa lagi dipakai meskipun sudah membayar mahal. Kondisi ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap industri telekomunikasi sekaligus menurunkan kredibilitas Indonesia di mata wisatawan mancanegara.

Selain itu, aspek keamanan data menjadi isu yang sangat serius. Paspor merupakan dokumen internasional yang sangat sensitif. Jika data ini jatuh ke pihak yang tidak bertanggung jawab, risikonya bisa menjalar hingga ke tindak kejahatan lintas negara, mulai dari penipuan identitas, penyelundupan, hingga kejahatan siber. Fakta bahwa data turis bisa dengan mudah dipakai untuk keperluan yang tidak mereka ketahui menunjukkan lemahnya sistem pengawasan di lapangan.

Dari sisi persaingan bisnis, kasus ini menciptakan ketidakadilan. Operator lain yang menjalankan aturan sesuai prosedur resmi akan kalah bersaing dengan Indosat dan Tri yang jumlah pelanggannya terdongkrak secara instan. Dalam jangka panjang, persaingan tidak sehat ini bisa mengganggu ekosistem industri telekomunikasi yang seharusnya tumbuh dengan sehat dan adil.

Jika menengok ke luar negeri, beberapa negara telah menerapkan sistem yang jauh lebih ketat. Singapura misalnya, hanya memperbolehkan IMEI yang langsung terhubung dengan database pemerintah. Di Malaysia, registrasi IMEI turis hanya bisa dilakukan oleh operator resmi dengan validasi identitas langsung. Di Eropa, data IMEI terkoneksi hingga ke sistem Interpol, sehingga hampir mustahil digunakan secara ilegal. Perbandingan ini memperlihatkan betapa sistem Indonesia masih lemah dan mudah dimanipulasi.

Menanggapi isu ini, pihak Indosat Ooredoo Hutchison sempat mengeluarkan pernyataan resmi. Mereka mengecam keras adanya mitra nakal yang mencuri data pribadi untuk aktivasi kartu SIM. CEO Indosat, Vikram Sinha, menyatakan bahwa perusahaan berkomitmen melindungi data pelanggan dan tidak menoleransi praktik ilegal. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga telah memanggil pihak Indosat untuk meminta klarifikasi dan menegaskan bahwa pelaku adalah oknum dealer, bukan kebijakan resmi perusahaan. Meski begitu, publik tetap menuntut tanggung jawab operator, karena lemahnya sistem internal tetap berada di bawah kendali perusahaan.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah operator sebesar Indosat dan Tri benar-benar tidak tahu bahwa praktik ini berlangsung masif, atau justru sengaja membiarkan demi mengejar target penjualan? Jika jawaban kedua lebih mendekati kebenaran, maka kasus ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi sebuah strategi bisnis curang yang merugikan banyak pihak.

Ke depan, ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan. Pemerintah bersama Polri, Kominfo, dan Kemenperin perlu melakukan investigasi independen yang transparan. Semua pihak yang terlibat, mulai dari mafia ponsel hingga oknum pegawai operator, harus diproses hukum tanpa pandang bulu. Sistem registrasi IMEI juga harus diperkuat dengan verifikasi langsung, bukan hanya mengandalkan foto atau tangkapan layar. Di sisi lain, transparansi laporan penjualan operator perlu ditingkatkan, agar publik yakin bahwa angka pertumbuhan yang ditampilkan benar-benar mencerminkan kondisi riil, bukan hasil manipulasi sistem.

Edukasi kepada konsumen juga sangat penting. Masyarakat harus sadar bahwa membeli ponsel ilegal hanya akan merugikan diri sendiri. Turis asing pun harus diberi pemahaman agar berhati-hati dalam memberikan data pribadi. Semua ini merupakan langkah awal untuk memperbaiki kembali citra industri telekomunikasi Indonesia yang kini tercoreng.

Pada akhirnya, kasus ini menegaskan satu hal: praktik aktivasi ilegal bukan sekadar kejahatan teknis. Ia adalah cermin dari ambisi korporasi yang berusaha mengejar target penjualan dengan cara yang menyimpang. Tanpa penindakan tegas dan perbaikan sistem, industri telekomunikasi Indonesia akan terus berada dalam bayang-bayang praktik curang, sementara masyarakat dan negara yang paling menanggung kerugian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *